Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional bangsa Indonesia. Bahasa
Indonesia mirip dengan Bahasa Melayu karena memang berasal dari Bahasa Melayu.
Bahasa Melayu yang merupakan rumpun bahasa Nusantara termasuk pada rumpun
Bahasa Austronesia yang berkembang menjadi salah satu bahasa
dunia timur. Jadi Bahasa Indonesia juga merupakan bagian dari rumpun Bahasa Austronesia.
Bahasa Melayu sendiri menjadi bahasa persatuan pada masa kerajaan
Sriwijaya. Berdasarkan beberapa prasasti, Bahasa Melayu terbukti lebih tua
dibandingkan Bahasa Jawa Kuno. Seorang pendeta yang bertugas di Ambon pada
1685-1695 dan 1707-1713, yaitu Francois Valentijn mengungkapkan padangan
positif terhadap Bahasa Melayu: “Bahasa itu indah, bagus sekali, merdu
bunyinya, dan kaya, yang di samping bahasa Portugis, merupakan bahasa yang
dapat dipakai di seluruh Hindia sampai ke Parsi, Hindustan, dan negeri Cina.”
Pada saat penjajahan Belanda, Bahasa Melayu juga mendapatkan posisi yang
penting dan digunakan secara luas di nusantara. Pada Kongres Pemuda Pertama
tahun 1926, Muhammad Yamin berpidato mengungkapkan keyakinannya bahwa Bahasa
Melayu lambat laun akan menjadi bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia.
Akhirnya pada Kongres Pemuda kedua, dibacakan Sumpah pemuda yang
pada butir ketiga berbunyi: “Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng
bahasa persatoean, Bahasa Indonesia.” Itu menjadi keputusan politik
pengangkatan Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia. Hampir semua organisasi
nasional kemudian menyatakan akan menggunakan Bahasa Indonesia pada
persidangan-persidangannya.
Lini perkembangan bahasa Indonesia antara lain sebagai berikut:
1.
Tahun 1901: disusun ejaan resmi Bahasa Melayu yaitu
Ejaan van Ophuysen oleh Ch. A. van Ophuysen. Ejaan ini dimuat dalam Kitab Logat
Melayu.
2.
Tahun 1908: didirikan Commissie voor de
Volkslectuur yang kemudian diubah menjadi Balai Pustaka.
3.
Tanggal 25 Juli 1918:pemerintah Hindia Belanda
menetapkan pemakaian Bahasa Melayu dalam sidang-sidang yang diselenggarakan
oleh Dewan Rakyat.
4.
Tanggal 28 Oktober 1928: diadakan Kongres Pemuda
yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Di dalam isinya disebutkan tentang Bahasa
Indonesia yang menjadi bahasa persatuan dan bahasa nasional.
5.
Tahun 1933: sastrawan yang tidak puas dengan Balai
Pustaka mendirikan majalah Pujangga Baru. Mereka kemudian bernama angkatan
Pujangga Baru.
6.
Tahun 1938: diadakan kongres Bahasa Indonesia yang
pertama dan disusun Kamus Istilah.
7.
Tahun 1942: pemerintah Jepang mendirikan Komisi
Bahasa Indonesia.
8.
Tahun 1945: berdasarkan UUD 1945, bahasa Indonesia
dinyatakan sebagai bahasa negara.
9.
Tanggal 19 Maret 1947: ditetapkan pemakaian Ejaan
Suwandi atau Ejaan Republik.
10.
Tahun 1954: diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia yang kedua di Medan, Sumatera Utara.
11.
Tanggal 17 Agustus 1972: diresmikan pemakaian Ejaan
Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah.
12.
Tahun 1975: diresmikan berlakunya Pedoman Umum
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah.
13.
Tahun 1978: diadakan Kongres Bahasa Indonesia yang
ketiga untuk menyempurnakan Bahasa Indonesia.
14.
Tahun 1988: diadakan Kongres Bahasa Indonesia yang
kelima dan diluncurkan Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia.
Sejarah Perkembangan Ilmu Bahasa
di Dunia
Sejarah
perkembangan ilmu bahasa pada dasarnya bermua dari dua wilayah, yaitu wiayah
Barat dan wilayah Timur. Sejarah bahasa di dunia Barat dan Timur hampir
bersamaan masanya, yaitu sekitar abad IV sebelum masehi. Sejarah perkembangan
ilmu bahasa di dunia barat diawali dari tradisi Yunani kuno, sedangakan sejarah
perkembangan bahasa di dunia Timur diawai dari tradisi India.
A. Perkembangan Ilmu Bahasa Di Dunia
Barat
Perkembangan ilmu bahasa di dunia barat yaitu
dimulai sejak dua puluh empat abad yang lalu, yaitu pada abad IV sebelum
Masehi. Asal muasalnyayaitu dari pemikiran seorang ahli filsafat bangsa Yunani
Kuno yang bernama Plato (429 SM-348 Sm) yang memberikan pembagian jenis kata
bahasa Yuna Kuno daam kerangka teaah filsafatnya. Plato membagi jenis kata
Yunani Kuno menjadi dua golongan, yakni onomo dan rhema (Soeparno, 2003: 9).
Onoma adalah jenis kata yang biasanya menjadi pangkal pernyataan dan
pembicaraan. Sementara yang dimaksud dengan Rhema adaah jenis atau golongan
kata yang biasa digunakan sebagai pengungkap pernyataan atau pembicaraan.
Pokok pikiran Plato tersebut kemudian
dikembangkan oeh seorang murid yang bernama Aristotees (384 SM-322 SM).
Aristoteles membagi jenis kata bahasa Yunani Kuno menjadi tiga golongan, yakni
onoma, rhema, dan syndesmos (Soeparno, 2003: 10). Konsep jenis kata onoma dan
rhema maknanya sama dengan yang dijelaskan oleh gurunya, sedangkan syndesmos
adalah golongan kata-kata tertentu yang tidak termasuk di jenis kata onoma
ataupun rhema. Golongan jenis kata ini merupakan hasil pemikirannya sndiri
sebagai usaha untuk melengkapi pembagian itu.
Perkembangan ilmu bahasa sampai pada maang
jesa itu memang baru terbatas pada telaah kata saja, khusunya tentang jenis
kata. Tata bahasa atau gramatikal baru mulai diperhatikan pada akhir abad kedua
masehi (130 M) oleh Dyonisiu Thrax. Buku gramatika yang pertama kali disusun
diberi nama “Techne Gramatike”. Buku inilah yang kemudian menjadi anutan bagi
para ahli tata bahasa yang mengikuti Thrax ini kemudian dikenal dengan penganut aliran
tradisional.
Pada zaman ini pembagian jenis kata sudah mencapai delapan, yakni 1) nomina, 2)
pronomina, 3) artikel, 4) verba, 5) edverbia, 6) preposisi, 7) partisipium, dan
8) konjungsi.
Ketika bangsa Romawi menaklukan bangsa Yunani,
mereka mengikuti cara berfikir serta pendapat-pendapat dari bangsa Yunani.
Semua istilah bahsa Yunani diterjemahkan kedalam bahasa Latin. Gramatisi yang
terkenal pada masa itu adalah Donatius (abad IV) dan Priscianus (abad V.
Gramatisi ini sangat terkenal di negara Eropa, baik itu sebagai tumpuan
penyelidikan maupun sebagai bahan pelajaran di sekolah. Pembagian kata pada
waktu itu menjadi tujuh, yakni: 1) nomina, 2) pronominal, 3) verba, 4)
edverbia, 5) preposisi, 6) partisipium, dan 7) konjugasi/konjungsio.
Pada abad pertengahan orang-orang Eropa
berlomba-lomba mempelajari bahasa Latin. Status bahasa Latin pada masa itu
memang sangat tinggi, sebab disamping sebagai bahasa gereja juga sebagai
“Lingua Franca” bagi kaum terpelajar. Bahasa-bahasa lain pada masa itu yang
merupakan bahasa mereka sendiri dianggap sebagai bahasa Vulgair (bahasa
rendahan, bahasa rakyat jelata, bahasa orang bodoh). Setelah abad ke XVI
barulah muncul kesadaran untuk mempelajari bahasa mereka sendiri. Bahasa
Inggris, bahasa Jerman, bahasa Belanda, bahasa Prancis, dan sebagainya mulai
dipelajari dan diselidiki. Namun, kesemua bahasa itu masih tetap menggunakan
kerangka bahasa Latin. Modus, kasus, tempo, infeksi, konjugasi, gender, dan
sebagainya masih dipaksakan menggunakan kaidah dalam bahasa Latin. Cara
tersebut berlangsung sampai akhir abad XIX. Pembagian jenis kata pada abad
pertengahan dilakukan oleh Modistae. Ia membagi jenis kata menjadi delapan,
yakni: 1) nomina, 2) pronominal, 3) partisipium, 4) verba, 5) edverbia 6) preposisi,
7) konjungsio, dan 8) interjeksi.
Pembagian jenis kata di negera Belanda
berkembang menjadi sepuluh, yakni: 1) nomina, 2) verba, 3) pronominal, 4)
edverbia, 5) adjective, 6) numera;ia, 7) preposisi, 8) konjugasi, 9)
interjeksi, dan 10) artikel. Tradisi inilah yang kemudian dikutip oleh para
ahli tata bahasa tradisional di Indonesia.
Di Indonesia ada tradisi lain di dalam hal
pembagian jenis kata ini, yakni pembagian jenis kata atas 3 golongan: 1) ism,
2) fi’il, dan 3) harf. Pembagian semacqam ini dilakuka oleh Sutan Muhammad
Zain. Dia terpengaruh oleh ahli tata bahasaMelayu Raja Alihaji. Raja Alihaji
sendiri pada dasarnya terpengaruh oleh tradisi Arab, yakni dari seorang ahli
tata bahasa Arab yag bernama Sibawaihi. Sibawaihi sendiri meneruskan pokok
pikiran gurunya yaitu Ad Du’ali membagi jenis kata bahasa Arab menjadi 3,
yakni:
1.
Ism : golongan kata yang
mengalami deklinasi
2.
Fi’il : golongan kata yang
mengalami konjugasi.
3.
Harf : golongan kata yang tidak
perna mengalami perubahan bentuk, baik yang bersifat deklinatif maupun yang
bersifat konjugatif.
Ilmu bahasa komparatif yang juga berkembang
pada abd XIX hanya berhasil memperbandingkan kata-kata. Teori
Leksikostatistiknya Isodare Dyen, teori Jarak Kosa Katanya Herbert Guiter, dan
Dafar Swadesh merupakan acuan pokok oleh para ahli ilmu bahasa komparatif.
Kecenderungan studi komparatif ini tampaknya mulai memudar sejak akhir abad
Sembilan belas.
Awal abad XX fajar mulai merekah, faham baru
mulai bermunculan. Karangan Ferdinand de Saussure yang berjudul “Course de
Linguistique General´(1916) merupakan angin segar bagi perkembangan ilmu bahasa
modern. Buku ini merupakan revolusi di dalam sejarah perkembangan ilmu bahasa.
Semula buku ini merupakan bahan kuliah yang tersebar yang kemudian oleh dua orang
bekas mahasiswanya (Bally dan Sachahaye) diterbitkan menjadi sebuah buku
sebagai penghormatan kepada bekas dosennya pada peringatan mennggalnya
Saussure. Konsepnya tentang significant dan signifie merupakan kunci untuk
memahami hakikat bahasa. Konsep lain yang ditampilkan antara lain parole,
langue, dan langage; representasi grafis; serta deretan sintakmatik dan
paradikmatik. Pandangan Saussure ini kemudian berkembang menjadi suatu aliran
dengan nama aliran strukturalisme. Orang yang lebih fanatic menyebutnya
Saussurian. Walaupun sekarang banyak bermunculan macam-macam aliran linguistic
seperti transformasionalisme, London, Praha, Kopenhagen, dan sebagainya; pada
dasarnya semua berkembang dari strukturalisme. Para ahli bahasa Eropa yang
fanatic menganggap bahwa semua aliran baru yang bermunculan itu merupakan suatu
“bid’ah” (penyimpangan) dari strukturalisme. Mereka menghimbau untuk kembali ke
Saussure yang diangapnya sebagai bapak linguistic modern.
Teori Saussure ini di eropa tidak saja
menjadi anutan para ahli bahasa (linguis) akan tetap juga menjadi anutan ahli
sastra, antropologi, dan ahli-ahli bidang lain.
Pembagian jenis kata pada zaman
strukturalisme tidak lagi mengunakan kriteria filosofis. Kriteria yang dipakai
adalah kriteria struktur yang meliputi struktur morfologis, struktur
fraseologis, dan struktur klausal. Dari ketiga struktur itu yang tampaknya paling
dominan adalah struktur fraseologis dan struktur klausal. Berdasarkan kriteria
itu anatomi moeliono (dalam Kridalaksana, 1986: 19) membagi jenis kata bahasa
Indonesia menjadi tiga, yakni: (1) nominal, (2) verbal, (3) partikel. Apabila
ini kita bandingkan degan tradisi arab dan tradisi Yunani, maka akan terdapat
adanya kesejajaran sebagai berikut:
aristoteles:
|
arab:
|
strkturalisme:
|
(1) onomal,
|
(1) ism,
|
(1) nominal,
|
(2) rhema,
|
(2) fi’il,
|
(2) verbal,
|
(3) syndesmos
|
(3) harf
|
(3) partikel.
|
Apabila kita lihat secara keseluruhan sejarah
perkembangan jenis kata atau kelas kata tersebut merupakan suatu daur, yang
semula berpangkal dari plato-aristoteles kemudian berkembang menjadi aneka
versi dan akhirnya kembali lagi bertemu pada suatu titik.
B. Perkembangan Ilmu Bahasa Di Dunia
Timur
Sejarah perkembangan ilmu bahasa di dunia
timur dimulai dari India pada lebih kurang empat abad sebelum masehi, jadi
hampi bersamaan dengan dimulainya sejarah ilmu bahasa di dunia barat (tradisi Yunani). Perkembangan bahasa di
dunia timur ini di tandai degan munculnya karya Panini yang berjudul
“vyakarana”. Buku tersebut merupakan buku tata bahasa sansekerta yang sangat
mengagumkan dunia, karena pada zaman yang sedini itu telah dapat
mendeskripsikan bahasa sansekerta secara lengkap dan sangat seksama,
teristimewa dalam dalam bidang fonologinya. Sayangnya buku tersebut teramat
sulit dipahami oleh orang awam. Itulah sebabnya, maka seorang muridnya bernama
Patanjali terpaksa harus menyusun tafsir untuk penjelasannya yang diberi judul
“mahabahasa”.
Karya Patanjali itu pada dasarnya di susun
semata-mata berdasarkan dorongan atau motivasi religius. Para brahmana dan
brahmacarin dalam mengajarkan pemahaman dan pengalaman isi kitab Veda kepada
para pengikutnya tidak dilakukan secara tertulis, melainkan secara lisan. Hal
tersebut dilakukan agar hal pengucapanya benar-benar mendapat perhatian.
Pengucapan yang salah tidak hanya menyebabkan mantranya tidak terkabul, akan
tetapi justru akan mendatangkan melapetaka. Demikian anggapan mereka, dengan
anggapan semacam itu mengakibatkan mereka sangat cermat dan berhati-hati di
dalam pengucapan. Untuk keperluan itu pengucapan/ sistem fonologi bahasa
sangsekerta dipelajari dengan tekun. Hasilnya memang sangat mengagumkan. Huruf devanagarai
yang dipakai untuk melambangkan bunyi-bunyi bahasa sansekerta sedemikian
lengkapnya. Setiap bunyi diupayakan untuk dilambangkan dengan cara khas. Di
seluruh dunia tidak ada bahasa yang secermat ini sistem bunyi dan sistem
tulisanya. Banyak ahli bahasa barat yang kagum dan terperanjat setela
mengetahui bahwa tata bahasa Sangsekerta pada zaman yang sedini itu sudah
memiliki deskripsi yang tidak ubahnya dengan deskripsi ahli bahasa struktur di
barat pada awal abad dua puluh, atau katakanlah akhir abad Sembilan belas.
Bahkan banyak yang menilai bahwa deskripsi linguistik Panini ini merupakan
deskripsi struktural yang paling murni. Degan demikian seandainya kita
bandingkan pada saat itu maka ilmu bahasa di dunia barat tertinggal dua puluh
tiga abad dari dunia timur. Sayangnya puncak strukturalisme pada saat itu
terputus sama sekali dan tidak ada kelanjutannya barang sedikit pun. Hal
tersebut dapat kita pahami, karena motivasinya bukanlah motivasi yang sifatnya
linguistis.