Sabtu, 13 Oktober 2018

Perkembangan Bahasa Indonesia-Melayu di indonesia dalam konteks sistem pendidikan


Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia mirip dengan Bahasa Melayu karena memang berasal dari Bahasa Melayu. Bahasa Melayu yang merupakan rumpun bahasa Nusantara termasuk pada rumpun Bahasa Austronesia yang berkembang menjadi salah satu bahasa dunia timur. Jadi Bahasa Indonesia juga merupakan bagian dari rumpun Bahasa Austronesia.
   
Bahasa Melayu sendiri menjadi bahasa persatuan pada masa kerajaan Sriwijaya. Berdasarkan beberapa prasasti, Bahasa Melayu terbukti lebih tua dibandingkan Bahasa Jawa Kuno. Seorang pendeta yang bertugas di Ambon pada 1685-1695 dan 1707-1713, yaitu Francois Valentijn mengungkapkan padangan positif terhadap Bahasa Melayu: “Bahasa itu indah, bagus sekali, merdu bunyinya, dan kaya, yang di samping bahasa Portugis, merupakan bahasa yang dapat dipakai di seluruh Hindia sampai ke Parsi, Hindustan, dan negeri Cina.”

Pada saat penjajahan Belanda, Bahasa Melayu juga mendapatkan posisi yang penting dan digunakan secara luas di nusantara. Pada Kongres Pemuda Pertama tahun 1926, Muhammad Yamin berpidato mengungkapkan keyakinannya bahwa Bahasa Melayu lambat laun akan menjadi bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia.

Akhirnya pada Kongres Pemuda kedua, dibacakan Sumpah pemuda yang pada butir ketiga berbunyi: “Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, Bahasa Indonesia.” Itu menjadi keputusan politik pengangkatan Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia. Hampir semua organisasi nasional kemudian menyatakan akan menggunakan Bahasa Indonesia pada persidangan-persidangannya.


Lini perkembangan bahasa Indonesia antara lain sebagai berikut:
1.             Tahun 1901: disusun ejaan resmi Bahasa Melayu yaitu Ejaan van Ophuysen oleh Ch. A. van Ophuysen. Ejaan ini dimuat dalam Kitab Logat Melayu.

2.             Tahun 1908: didirikan Commissie voor de Volkslectuur yang kemudian diubah menjadi Balai Pustaka.

3.             Tanggal 25 Juli 1918:pemerintah Hindia Belanda menetapkan pemakaian Bahasa Melayu dalam sidang-sidang yang diselenggarakan oleh Dewan Rakyat.

4.             Tanggal 28 Oktober 1928: diadakan Kongres Pemuda yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Di dalam isinya disebutkan tentang Bahasa Indonesia yang menjadi bahasa persatuan dan bahasa nasional.

5.             Tahun 1933: sastrawan yang tidak puas dengan Balai Pustaka mendirikan majalah Pujangga Baru. Mereka kemudian bernama angkatan Pujangga Baru.

6.             Tahun 1938: diadakan kongres Bahasa Indonesia yang pertama dan disusun Kamus Istilah.

7.             Tahun 1942: pemerintah Jepang mendirikan Komisi Bahasa Indonesia.

8.             Tahun 1945: berdasarkan UUD 1945, bahasa Indonesia dinyatakan sebagai bahasa negara.

9.             Tanggal 19 Maret 1947: ditetapkan pemakaian Ejaan Suwandi atau Ejaan Republik.

10.          Tahun 1954: diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia yang kedua di Medan, Sumatera Utara.

11.          Tanggal 17 Agustus 1972: diresmikan pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah.

12.          Tahun 1975: diresmikan berlakunya Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah.

13.          Tahun 1978: diadakan Kongres Bahasa Indonesia yang ketiga untuk menyempurnakan Bahasa Indonesia.

14.          Tahun 1988: diadakan Kongres Bahasa Indonesia yang kelima dan diluncurkan Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.

Sejarah Perkembangan Ilmu Bahasa di Dunia

Sejarah perkembangan ilmu bahasa pada dasarnya bermua dari dua wilayah, yaitu wiayah Barat dan wilayah Timur. Sejarah bahasa di dunia Barat dan Timur hampir bersamaan masanya, yaitu sekitar abad IV sebelum masehi. Sejarah perkembangan ilmu bahasa di dunia barat diawali dari tradisi Yunani kuno, sedangakan sejarah perkembangan bahasa di dunia Timur diawai dari tradisi India.  

A. Perkembangan Ilmu Bahasa Di Dunia Barat

Perkembangan ilmu bahasa di dunia barat yaitu dimulai sejak dua puluh empat abad yang lalu, yaitu pada abad IV sebelum Masehi. Asal muasalnyayaitu dari pemikiran seorang ahli filsafat bangsa Yunani Kuno yang bernama Plato (429 SM-348 Sm) yang memberikan pembagian jenis kata bahasa Yuna Kuno daam kerangka teaah filsafatnya. Plato membagi jenis kata Yunani Kuno menjadi dua golongan, yakni onomo dan rhema (Soeparno, 2003: 9). Onoma adalah jenis kata yang biasanya menjadi pangkal pernyataan dan pembicaraan. Sementara yang dimaksud dengan Rhema adaah jenis atau golongan kata yang biasa digunakan sebagai pengungkap pernyataan atau pembicaraan.

Pokok pikiran Plato tersebut kemudian dikembangkan oeh seorang murid yang bernama Aristotees (384 SM-322 SM). Aristoteles membagi jenis kata bahasa Yunani Kuno menjadi tiga golongan, yakni onoma, rhema, dan syndesmos (Soeparno, 2003: 10). Konsep jenis kata onoma dan rhema maknanya sama dengan yang dijelaskan oleh gurunya, sedangkan syndesmos adalah golongan kata-kata tertentu yang tidak termasuk di jenis kata onoma ataupun rhema. Golongan jenis kata ini merupakan hasil pemikirannya sndiri sebagai usaha untuk melengkapi pembagian itu.

Perkembangan ilmu bahasa sampai pada maang jesa itu memang baru terbatas pada telaah kata saja, khusunya tentang jenis kata. Tata bahasa atau gramatikal baru mulai diperhatikan pada akhir abad kedua masehi (130 M) oleh Dyonisiu Thrax. Buku gramatika yang pertama kali disusun diberi nama “Techne Gramatike”. Buku inilah yang kemudian menjadi anutan bagi para ahli tata bahasa yang mengikuti Thrax ini kemudian dikenal dengan penganut aliran tradisional. Pada zaman ini pembagian jenis kata sudah mencapai delapan, yakni 1) nomina, 2) pronomina, 3) artikel, 4) verba, 5) edverbia, 6) preposisi, 7) partisipium, dan 8) konjungsi.

Ketika bangsa Romawi menaklukan bangsa Yunani, mereka mengikuti cara berfikir serta pendapat-pendapat dari bangsa Yunani. Semua istilah bahsa Yunani diterjemahkan kedalam bahasa Latin. Gramatisi yang terkenal pada masa itu adalah Donatius (abad IV) dan Priscianus (abad V. Gramatisi ini sangat terkenal di negara Eropa, baik itu sebagai tumpuan penyelidikan maupun sebagai bahan pelajaran di sekolah. Pembagian kata pada waktu itu menjadi tujuh, yakni: 1) nomina, 2) pronominal, 3) verba, 4) edverbia, 5) preposisi, 6) partisipium, dan 7) konjugasi/konjungsio.

Pada abad pertengahan orang-orang Eropa berlomba-lomba mempelajari bahasa Latin. Status bahasa Latin pada masa itu memang sangat tinggi, sebab disamping sebagai bahasa gereja juga sebagai “Lingua Franca” bagi kaum terpelajar. Bahasa-bahasa lain pada masa itu yang merupakan bahasa mereka sendiri dianggap sebagai bahasa Vulgair (bahasa rendahan, bahasa rakyat jelata, bahasa orang bodoh). Setelah abad ke XVI barulah muncul kesadaran untuk mempelajari bahasa mereka sendiri. Bahasa Inggris, bahasa Jerman, bahasa Belanda, bahasa Prancis, dan sebagainya mulai dipelajari dan diselidiki. Namun, kesemua bahasa itu masih tetap menggunakan kerangka bahasa Latin. Modus, kasus, tempo, infeksi, konjugasi, gender, dan sebagainya masih dipaksakan menggunakan kaidah dalam bahasa Latin. Cara tersebut berlangsung sampai akhir abad XIX. Pembagian jenis kata pada abad pertengahan dilakukan oleh Modistae. Ia membagi jenis kata menjadi delapan, yakni: 1) nomina, 2) pronominal, 3) partisipium, 4) verba, 5) edverbia 6) preposisi, 7) konjungsio, dan 8) interjeksi.

Pembagian jenis kata di negera Belanda berkembang menjadi sepuluh, yakni: 1) nomina, 2) verba, 3) pronominal, 4) edverbia, 5) adjective, 6) numera;ia, 7) preposisi, 8) konjugasi, 9) interjeksi, dan 10) artikel. Tradisi inilah yang kemudian dikutip oleh para ahli tata bahasa tradisional di Indonesia.

Di Indonesia ada tradisi lain di dalam hal pembagian jenis kata ini, yakni pembagian jenis kata atas 3 golongan: 1) ism, 2) fi’il, dan 3) harf. Pembagian semacqam ini dilakuka oleh Sutan Muhammad Zain. Dia terpengaruh oleh ahli tata bahasaMelayu Raja Alihaji. Raja Alihaji sendiri pada dasarnya terpengaruh oleh tradisi Arab, yakni dari seorang ahli tata bahasa Arab yag bernama Sibawaihi. Sibawaihi sendiri meneruskan pokok pikiran gurunya yaitu Ad Du’ali membagi jenis kata bahasa Arab menjadi 3, yakni:
1.             Ism : golongan kata yang mengalami deklinasi

2.             Fi’il : golongan kata yang mengalami konjugasi.

3.             Harf : golongan kata yang tidak perna mengalami perubahan bentuk, baik yang bersifat deklinatif maupun yang bersifat konjugatif.

Ilmu bahasa komparatif yang juga berkembang pada abd XIX hanya berhasil memperbandingkan kata-kata. Teori Leksikostatistiknya Isodare Dyen, teori Jarak Kosa Katanya Herbert Guiter, dan Dafar Swadesh merupakan acuan pokok oleh para ahli ilmu bahasa komparatif. Kecenderungan studi komparatif ini tampaknya mulai memudar sejak akhir abad Sembilan belas.

Awal abad XX fajar mulai merekah, faham baru mulai bermunculan. Karangan Ferdinand de Saussure yang berjudul “Course de Linguistique General´(1916) merupakan angin segar bagi perkembangan ilmu bahasa modern. Buku ini merupakan revolusi di dalam sejarah perkembangan ilmu bahasa. Semula buku ini merupakan bahan kuliah yang tersebar yang kemudian oleh dua orang bekas mahasiswanya (Bally dan Sachahaye) diterbitkan menjadi sebuah buku sebagai penghormatan kepada bekas dosennya pada peringatan mennggalnya Saussure. Konsepnya tentang significant dan signifie merupakan kunci untuk memahami hakikat bahasa. Konsep lain yang ditampilkan antara lain parole, langue, dan langage; representasi grafis; serta deretan sintakmatik dan paradikmatik. Pandangan Saussure ini kemudian berkembang menjadi suatu aliran dengan nama aliran strukturalisme. Orang yang lebih fanatic menyebutnya Saussurian. Walaupun sekarang banyak bermunculan macam-macam aliran linguistic seperti transformasionalisme, London, Praha, Kopenhagen, dan sebagainya; pada dasarnya semua berkembang dari strukturalisme. Para ahli bahasa Eropa yang fanatic menganggap bahwa semua aliran baru yang bermunculan itu merupakan suatu “bid’ah” (penyimpangan) dari strukturalisme. Mereka menghimbau untuk kembali ke Saussure yang diangapnya sebagai bapak linguistic modern.

Teori Saussure ini di eropa tidak saja menjadi anutan para ahli bahasa (linguis) akan tetap juga menjadi anutan ahli sastra, antropologi, dan ahli-ahli bidang lain.

Pembagian jenis kata pada zaman strukturalisme tidak lagi mengunakan kriteria filosofis. Kriteria yang dipakai adalah kriteria struktur yang meliputi struktur morfologis, struktur fraseologis, dan struktur klausal. Dari ketiga struktur itu yang tampaknya paling dominan adalah struktur fraseologis dan struktur klausal. Berdasarkan kriteria itu anatomi moeliono (dalam Kridalaksana, 1986: 19) membagi jenis kata bahasa Indonesia menjadi tiga, yakni: (1) nominal, (2) verbal, (3) partikel. Apabila ini kita bandingkan degan tradisi arab dan tradisi Yunani, maka akan terdapat adanya kesejajaran sebagai berikut:
aristoteles:
arab:
strkturalisme:
(1) onomal,
(1) ism,
(1) nominal,
(2) rhema,
(2) fi’il,
(2) verbal,
(3) syndesmos
(3) harf
(3) partikel.

Apabila kita lihat secara keseluruhan sejarah perkembangan jenis kata atau kelas kata tersebut merupakan suatu daur, yang semula berpangkal dari plato-aristoteles kemudian berkembang menjadi aneka versi dan akhirnya kembali lagi bertemu pada suatu titik.


B. Perkembangan Ilmu Bahasa Di Dunia Timur

Sejarah perkembangan ilmu bahasa di dunia timur dimulai dari India pada lebih kurang empat abad sebelum masehi, jadi hampi bersamaan dengan dimulainya sejarah ilmu bahasa di dunia barat (tradisi Yunani). Perkembangan bahasa di dunia timur ini di tandai degan munculnya karya Panini yang berjudul “vyakarana”. Buku tersebut merupakan buku tata bahasa sansekerta yang sangat mengagumkan dunia, karena pada zaman yang sedini itu telah dapat mendeskripsikan bahasa sansekerta secara lengkap dan sangat seksama, teristimewa dalam dalam bidang fonologinya. Sayangnya buku tersebut teramat sulit dipahami oleh orang awam. Itulah sebabnya, maka seorang muridnya bernama Patanjali terpaksa harus menyusun tafsir untuk penjelasannya yang diberi judul “mahabahasa”.

Karya Patanjali itu pada dasarnya di susun semata-mata berdasarkan dorongan atau motivasi religius. Para brahmana dan brahmacarin dalam mengajarkan pemahaman dan pengalaman isi kitab Veda kepada para pengikutnya tidak dilakukan secara tertulis, melainkan secara lisan. Hal tersebut dilakukan agar hal pengucapanya benar-benar mendapat perhatian. Pengucapan yang salah tidak hanya menyebabkan mantranya tidak terkabul, akan tetapi justru akan mendatangkan melapetaka. Demikian anggapan mereka, dengan anggapan semacam itu mengakibatkan mereka sangat cermat dan berhati-hati di dalam pengucapan. Untuk keperluan itu pengucapan/ sistem fonologi bahasa sangsekerta dipelajari dengan tekun. Hasilnya memang sangat mengagumkan. Huruf devanagarai yang dipakai untuk melambangkan bunyi-bunyi bahasa sansekerta sedemikian lengkapnya. Setiap bunyi diupayakan untuk dilambangkan dengan cara khas. Di seluruh dunia tidak ada bahasa yang secermat ini sistem bunyi dan sistem tulisanya. Banyak ahli bahasa barat yang kagum dan terperanjat setela mengetahui bahwa tata bahasa Sangsekerta pada zaman yang sedini itu sudah memiliki deskripsi yang tidak ubahnya dengan deskripsi ahli bahasa struktur di barat pada awal abad dua puluh, atau katakanlah akhir abad Sembilan belas. Bahkan banyak yang menilai bahwa deskripsi linguistik Panini ini merupakan deskripsi struktural yang paling murni. Degan demikian seandainya kita bandingkan pada saat itu maka ilmu bahasa di dunia barat tertinggal dua puluh tiga abad dari dunia timur. Sayangnya puncak strukturalisme pada saat itu terputus sama sekali dan tidak ada kelanjutannya barang sedikit pun. Hal tersebut dapat kita pahami, karena motivasinya bukanlah motivasi yang sifatnya linguistis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar